Rupiah Pagi Ini Anjlok ke Level Rp14.200 per Dolar AS


Jakarta -- Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.225 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Senin (25/3) pagi. Dengan demikian, rupiah melemah 0,44 persen dibandingkan penutupan pada Jumat (22/3) yakni Rp14.162 per dolar AS.

Pagi hari ini, sebagian mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Won Korea Selatan melemah 0,54 persen, peso Filipina melemah 0,22 persen, ringgit Malaysia melemah 0,2 persen, dan dolar Singapura melemah 0,03 persen.

Di sisi lain, terdapat pula mata uang yang menguat seperti dolar Hong Kong sebesar 0,01 persen, yen Jepang sebesar 0,15 persen, dan baht Thailand sebesar 0,36 persen. Sementara mata uang negara maju menunjukkan pelemahan seperti dolar Australia sebesar 0,2 persen, poundsterling Inggris sebesar 0,17 persen, dan euro sebesar 0,08 persen.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim memprediksi rupiah masih akan tertekan di pagi ini dengan rentang Rp14.117 per dolar AS hingga Rp14.190 per dolar AS. Sentimen yang mempengaruhi serupa dengan akhir pekan kemarin, yakni negosiasi perang dagang AS dan China serta kelangsungan proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa, atau biasa disebut Brexit

Untuk perang dagang, hingga saat ini belum ada titik terang dari negosiasi setelah China mendesak AS untuk segera menghapus tarif impor asal China setelah kesepakatan diteken.

Oleh karenanya, China juga akan memberlakukan tindakan anti dumping bagi produk baja anti karat dari Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan mulai 23 Maret mendatang. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan investor, terlebih China merupakan mitra ekspor negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Sementara itu, pengaruh negatif dari benua biru muncul karena Uni Eropa secara aklamasi memperpanjang tenggat Brexit hingga 12 April 2019 mendatang sembari menunggu kesepakatan parlemen Inggris. Adapun seharusnya, perceraian antara Inggris dan Uni Eropa terjadi 29 Maret mendatang.

Jika parlemen tak menyetujui perpanjangan tenggat Brexit, maka mau tak mau Inggris harus menghadapi perceraian tanpa kompensasi, atau disebut no-deal Brexit. No-deal Brexit akan menjadi mimpi buruk karena pelaku pasar enggan investasi di aset berisiko tinggi.

"Bahkan dalam cuitannya, Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk menuliskan Uni Eropa akan melanjutkan persiapan seandainya No-deal Brexit terjadi," papar Ibrahim, Senin (25/3).(cnn)
TERKAIT