Aroma Politik di Balik Tarik Ulur Pembebasan Ba'asyir


Jakarta -- Rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir menjadi polemik. Pemerintah masih tarik ulur untuk membebaskan pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu.

Semua bermula sejak Jumat lalu (18/1). Pakar tata negara Yusril Ihza Mahendra, mengatasnamakan penasihat hukum Presiden Joko Widodo, menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat untuk menemui Ba'asyir.

Dia mengklaim diutus Jokowi untuk mengupayakan pembebasan bersyarat untuk Ba'asyir. Salah satu pertimbangannya adalah aspek kemanusiaan.

Yusril mengatakan Ba'asyir berhak memperoleh pembebasan bersyarat. Ba'asyir dinilai selalu berkelakuan baik selama di tahanan dan telah menjalani 2/3 masa hukuman. Permohonan bebas bersyarat pun telah diajukan sejak pertengahan Desember 2018.

Ba'asyir divonis bersalah oleh Pengadilan Jakarta Selatan pada 2011 silam. Dia dihukum 15 tahun penjara lantaran mengorganisir pelatihan terorisme di Aceh.

Salah satu kendala yang ditemui Yusril adalah soal ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ba'asyir enggan melakukan itu.

Namun, Yusril mengklaim sudah menyelesaikan itu. Dia mengatakan Ba'asyir tetap bisa bebas, lantaran berikrar setia kepada Islam. Pancasila, kata Yusril, sejalan atau tidak bertentangan dengan Islam.

Jokowi pun telah mengonfirmasi bahwa dirinya berniat memberikan pembebasan bersyarat kepada Ba'asyir. Sesuai dengan yang dikatakan Yusril, aspek kemanusiaan menjadi pertimbangan.

Tapi, peluang Ba'asyir untuk bebas bersyarat seolah meredup. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto mengungkapnya. Wiranto menyampaikan bahwa pemerintah akan mengkaji berbagai hal terlebih dahulu sebelum memberi pembebasan bersyarat terhadap pendiri Jamaah Islamiyah tersebut.

Aspek yang ditinjau kembali, menurut Wiranto, yakni soal ideologi, politik, NKRI dan seterusnya. Sejumlah pimpinan lembaga pemerintahan akan membicarakan itu lebih matang.

Pada Selasa (22/1), Jokowi kembali buka mulut. Dia mengatakan Ba'asyir tetap harus berikrar setia kepada NKRI jika ingin bebas bersyarat. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengutarakan hal serupa. Diikuti Menkumham Yasonna Laoly.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menilai carut marut proses pembebasan bersyarat Ba'asyir bermuara dari sikap Jokowi. Ada aroma politik di balik ketidaktegasan Jokowi.

Yati menilai Jokowi khawatir tidak mendapat banyak suara di Pilpres 2019. Kecemasan tersebut mendorong Jokowi untuk berupaya membebaskan Ba'asyir tanpa melihat dengan jeli peraturan yang ada. Dalam hal ini PP No 99 tahun 2012.

PP tersebut mewajibkan napi teroris berikrar setia kepada NKRI jika ingin bebas bersyarat usai menjalani 2/3 masa hukuman. Namun, berdasarkan penuturan Yusril, Jokowi tidak keberatan jika Ba'asyir hanya mau ikrar kepada Islam, tidak Pancasila.

"Ketidakcermatan dia (Jokowi) itu berdampak kepada ketidaktegasan dia. Dia punya motivasi politis sehingga membuatnya tidak cermat dan ingin dipercepat," tutur Yati saat dihubungi wartawan, Selasa malam (22/1).

Selain itu, kata Yati, ketika sekarang muncul sejumlah persoalan, hal itu menunjukkan ketidaktegasan Jokowi.

"Akhirnya ada peninjauan ulang itu," kata Yati.

Yati menilai motivasi yang bersifat politik bisa mengurangi kecermatan seorang presiden. Apalagi, Jokowi maju kembali sebagai calon presiden petahana.

Yati mengatakan hal itu sudah terbukti saat ini. Bahkan, menurut dia, terungkap pula bahwa Jokowi miskoordinasi dengan menteri-menteri terkait.

"Pak Jokowi jangan lupa. Sekarang masih kepala negara dan kepala pemerintahan. Bukan hanya kontestan Pilpres 2019," kata Yati. "Dalih kemanusiaan sangat dimungkinkan tapi prosedur hukum tidak boleh dikesampingkan."(cnn)
TERKAIT